Senin, 04 Maret 2019

Sepotong Surat tanpa Alamat #1





   Pekan ini sebenarnya adalah pekan ketiga setelah pembicaraan terakhir kita, dan aku memutuskan untuk berhenti berharap kepadamu. Kau tau, sulit sekali ku tahan diriku. Tetapi aku harus bisa dengan ketiadaan komunikasi diantara kita. Sewaktu preklinik, tiada komunikasi denganmu masih bisa ku kuat-kuatkan diriku, sebab tidak ada pembicaraan diantara kita. Kita hanya saling menerka-nerka. Tetapi saat ini, ku rasa semua berbeda. Kamu telah menyampaikan kepadaku, bahwa kamu ingin menuju ku. Rasanya aku lemas sesaat setelah mendengarnya darimu. Tetapi aku harus punya prinsip. Perempuan itu lemah, perasaannya halus. Saat tau, kita berdua memiliki rasa yang sama, jalan terbaik adalah kita harus menyelesaikannya tanpa harus menyelisihi syariat-Nya. Caranya adalah dengan menikah. Tapi kurasa, kita sama-sama belum siap. Karena itu, ku beri tahukan kepadamu, kita berdua adalah dua orang yang masih memiliki urusan masing-masing, entah dengan masa lalu, hari ini, dan masa depan yang kita siapkan. Karena itu, selesaikan dulu urusan kita masing-masing. Kita saling memperbaiki diri, bukan karena kita tapi karena Allah. Karena untuk saat ini, kita masih belum tahu, kemana takdir membawa kita. Tapi surat ini telah sampai di tanganmu kan? Artinya, perjalanan kita untuk sampai ditahap ini begitu panjang, jangan ragu melangkah..


Makassar, 
04/02-2019

Jumat, 21 Agustus 2015

Hujan Bulan Juni



“tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu” 
― Sapardi Djoko DamonoHujan Bulan Juni