Penulis: Indira Yunita Alie
Rain+ Sun = Rainbow
Auri
adalah seorang siswi SMU kelas XI IPA 3 yang dikenal pendiam. Namun bukan
berarti tidak ada yang mau berteman dengannya. Karena sebenarnya, dialah yang
membuat jarak antara dirinya dan teman-temannya. Itulah yang menyebabkan ia
lebih sering menyendiri tanpa teman. Hingga akhirnya, seorang anak baru bernama
Dinda mulai memasuki kehidupannya yang dahulu biasa ia lakukan seorang diri.
Dinda yang ceria, supel dan mudah bergaul sangat kontras dengan sifat yang ia
miliki. Dinda yang menyukai matahari dan Auri yang menyukai hujan. Banyak
perbedaan antara keduanya. Namun, seiring dengan waktu, Dinda kerap kali
melakukan hal-hal yang membuatnya mengorbankan diri demi Auri. Padahal mereka
baru kenalan, itu adalah sesuatu yang aneh yang baru kali ini didapatkan oleh
Auri. Awalnya, Auri tidak ingin ambil pusing dengan segala macam tindakan Dinda.
Karena menurut Auri, Pasti ada hal yang diinginkan oleh Dinda hingga Dinda
bersikap sok baik seperti itu. Tetapi dugaan Auri ternyata salah. Dinda dengan
tulus melakukan semua itu demi Auri, dan ia tidak menyangka dibalik keinginan
Dinda itu hanyalah ia ingin menjadi teman baik Auri.
Auri
yang tidak terbiasa dengan seseorang yang peduli padanya dan kehadiran seorang
teman membuatnya merasa senang bersama Dinda. Meski selama ini ia tidak pernah
ingin mencoba untuk dekat dengan seseorang, namun kehadiran Dinda membuatnya menyadari sesuatu, hal yang sama
indahnya ketika hujan mulai reda.
Auri
tinggal bersama kakak perempuannya. Dari
kecil, mereka diasuh oleh seorang nenek. Mereka telah kehilangan orang tua
sejak masih balita. Namun, 3 tahun yang lalu sang nenek meninggal dunia. Hal
itu memberikan duka yang mendalam bagi Auri dan kakaknya. Nenek yang selama ini
dicintainya telah pergi untuk selamanya, menyisakan beban hidup dipundak sang
kakak. Meskipun keduanya telah terbiasa hidup mandiri dan bekerja keras, kali
ini mereka harus melakukannya tanpa kasih sayang dari sang nenek.
Kakak
Auri ingin terlepas dari kesedihan duka yang mendalam, ia ingin menjalani hidup
dengan tegar dan mendidik adiknya untuk tetap kuat dan bekerja keras dalam
hidup. Sang kakak bekerja disebuah restaurant asli Indonesia. Sebelum sang
nenek meninggal, Kakak Auri hanya bekerja paruh waktu, namun kini ia mengambil
jadwal kerja full time. Hingga, ia dan Auri jarang berkomunikasi seperti dulu.
Kesibukan-kesibukan itu tidak lantas menghilangkan kecemasan dalam benak sang
kakak. Ia telah menjelma menjadi seorang wanita yang realistis. Intinya, sang
kakak ingin membiayai sekolah Auri sampai sarjana. Bukan hal muluk, karena sang
kakak tidak ingin melihat adiknya menderita. Ia ingin adiknya bisa sukses dan
bahagia kelak. Meski ia tidak sadar bahwa sikap kerasnya yang kini membawa Auri
menjadi seorang gadis yang tertutup bahkan hampir tidak menikmati masa-masa
remajanya.
Sepulang
sekolah, Auri harus bekerja paruh waktu disebuah toko kebutuhan pokok hingga
jam 7 malam. Setelahnya, tentu ia akan pulang lebih awal dan membersihkan
rumah. Kakak Auri akan pulang sebelum jam 10 malam. Membuat ia sudah terbiasa menikmati makan malam
sendirian. Sarapan pagi yang menjadi moment kebersamaan antara Auri dan Kakak,
walau hanya diisi dengan percakapan ringan atau sekedar basa-basi. Semuanya
terlalu sibuk untuk sebuah pikiran “Aku rindu akan kebersamaan kita”
Hingga
suatu hari, ketua osis memberi kabar bahwa ada program Beasiswa Pertukaran
Pelajar ke Kanada yang diadakan oleh pemerintah. Program itu berjalan 5 tahun
sekali. Indonesia akan mengirimkan 15 orang perwakilan untuk program itu.
Setiap daerah mengirimkan 5 orang perwakilan yang akan diseleksi lagi di
tingkat nasional. 15 perwakilan pelajar tersebut akan dikirim ke Kanada selama
4 tahun. Disana terdapat pula pelajar lain dari berbagai negera. Lulusan dari
program ini akan langsung ditempatkan diantara 3 perusahaan besar di Indonesia.
Dan itu adalah peluang bagi Auri untuk berhenti menyusahkan dan memberi beban
pikiran pada kakaknya. Dinda pun tidak kalah bersemangat untuk mengikuti
program ini. Mereka akhirnya belajar dan
berjuang bersama. Mereka mempersiapkan semua yang mereka butuhkan untuk bisa
lolos dan mendapatkan Beasiswa tersebut. Auri belajar keras, sang kakak terus
menggenjot dan memompa semangat Auri. Tapi kenyataannya, Auri malah merasa itu
adalah sebuah tekanan dan keharusan untuk meraih Beasiswa tersebut. Hari H pun
tiba, awal ujian pertama adalah seleksi berkas dan ujian tertulis. Dari 130
peserta hanya tersisa 20 peserta terbaik. Auri berada diperingkat ke 7
sedangkan Dinda diperingkat 14. Ketua osis mereka ternyata berada diperingkat
6. Teman-teman mereka memberi dukungan kepada ketiganya. Itu adalah suatu
kebanggaan besar, karena ketiga perwakilan dari sekolah bisa lolos dibabak
seleksi pertama dengan nilai yang
memuaskan.
Babak
seleksi kedua adalah test wawancara. Setiap malam kakak Auri mendesak Auri
untuk berlatih dan memberikan yang terbaik saat test berlangsung. Namun pada
test wawancara, Auri merasa kurang menampilkan pertunjukan kebudayaan yang
diminta oleh dewan juri. Walaupun selebihnya, ia bisa memukau para juri dengan
jawaban argumentasi yang sangat baik. Sedangkan ia tahu, pastilah Dinda akan
menonjol dibidang kebudayaan. Dinda bisa menari dan menyanyi dan pernah
mengikuti drama teater dengan baik. Hanyalah doa dan keajaiban yang dapat
membuat Auri bisa lolos ketahap berikutnya.
Sepulang
dari test tersebut, Auri tidak langsung berangkat ke toko. Ia singgah disebuah
mesjid. Disana ia melihat ada sekumpulan wanita dengan kerudung besar duduk
membentuk lingkaran. Awalnya, Auri malu dan enggan untuk berlama-lama di mesjid
itu, namun salah seorang dari wanita itu memanggil Auri. Ia pun ikut dalam
lingkaran yang ternyata adalah sebuah majelis ilmu akhwat. Auri senang
mendengarkan seorang yang disebut murobbiyah menjelaskan mengenai keutamaan
seorang wanita. Auri ingat ketika pertama kali ia dan kakaknya menggunakan
kerudung. Sang nenek yang mengatakan, jika seorang wanita sudah balig maka ia
wajib untuk menutup auratnya. Bahagia rasanya, bisa berlama-lama dalam majelis
itu.
Tibalah
hari pengumuman. Dari 50 orang hanya 5 yang akan lolos seleksi ke ibukota.
Ketua panitia, menyebutkan nama-nama yang lolos melalui microphone. Dan
ternyata Auri tidak lolos, melainkan nama Dinda dan ketua osinya berada
diantara nama-nama yang disebutkan. Hancur sudah harapan Auri, ia harus bersiap
menahan kekecewaan sang kakak. Ia harus besiap jika seandainya ia tidak bisa
lagi melanjutkan sekolah karena biaya. Ia tidak mampu menahan kekecewaannya
saat ia memberi selamat pada Dinda, matanya berkaca-kaca. Dinda tahu kalau Auri
sangat sedih, Dinda merasa tidak enak hati pada Auri. Ia tidak ingin, hanya
gara-gara persoalan Beasiswa ini persahabatannya dengan Auri menjadi renggang.
Baru kali ini, ia melihat mata Auri berkaca-kaca. Dinda sadar, selama ini Auri
sudah berusaha lebih keras darinya. Dinda pun bicara pada ibunya tentang
masalah ini. Dan Dinda akan melepaskan kesempatan emasnya demi Auri, Belum
tentu juga pada saat seleksi nasional ia bisa lolos. Toh sang ibu setuju dengan
pikiran bijak sang anak. Bahkan sang ibu bangga memiliki anak berhati mulia
seperti Dinda.
Auri
pulang kerumah. Ia memberi tahu kakaknya, bahwa ia telah gagal. Saat itu, sang
kakak marah besar pada Auri. Ia pikir, Auri tidak bersungguh-sungguh untuk
meraih Beasiswa tersebut. Buktinya, Dinda saja bisa maju keseleksi selanjutnya.
Hujan deras mewakili perasaannya. Ia mulai menulis lagi pada catatan merahnya.
Sajak-sajak yang indah dari hatinya, tentang luka yang selama ini dipendamnya.
Air matanya tumpah. Mengapa persoalan ini saja dapat memperumit hidupnya?
Apakah ia harus mengorbankan segalanya demi sang kakak? Agar kakaknya berhenti
berpikir mereka akan mati tanpa uang! Auri butuh kasih sayang.. Auri rindu
senyum hangat sang kakak.. Auri rindu kebersamaan dan kehangatan yang selama ini
didapatkannya dari nenek dan kakaknya.. Auri lelah jika terus memendam
keinginannya itu!
Keesokan
harinya, Auri mendapat telepon dari pihak penerimaan beasiswa. Ia disuruh
datang ditempat itu pukul 11 pagi. Untunglah hari itu adalah hari minggu. Auri
pergi ketempat itu agak terlambat, ternyata Dinda juga ada disana beserta 5
orang peserta lain. Dinda terlihat kaget dengan kedatangan Auri. Mereka belum
sempat berbasa-basi lalu muncullah seorang juri dan ketua panitia
penyelenggara. Mereka menjelaskan kalau ternyata Dinda mengundurkan diri karena
kedua orang tua Dinda berubah pikiran
dan tidak menyetujui keberangkatan Dinda ke ibukota untuk tahap seleksi
selanjutnya. Karena itu, mereka akan mengambil salah seorang dari peserta
cadangan dengan skor tertinggi untuk menggantikan Dinda. Dan orang itu adalah
Auri. Ada rasa senang dalam hati Auri tapi ada juga rasa sedih saat mengetahui
kalau orang itu lagi-lagi Dinda. Ia melihat Dinda yang terlihat lemas saat itu.
Kemudian seorang juri memanggil Auri maju kedepan dan bertanya apakah ia siap
atau tidak. Auri masih bungkam, ia memikirkan sang kakak dan Dinda. Sang kakak
yang sudah merawatnya dan menjaganya, membiayainya hingga saat ini. Dan Dinda,
seorang teman yang baru memasuki hidupnya, yang memberinya kebahagiaan saat
bersamanya. Apa yang harus ia pilih? Siapa lagi yang harus ia kecewakan? Apakah
sang kakak lagi? Tidak mungkin!
Dinda
berbicara dengan suara yang gemetar. “Auri tidak akan ikut program itu! Auri
tidak mungkin berkhianat!” Suasana tegang menyelimuti tempat itu. Auri masih
bungkam. “Aku melepaskan semua ini demi kamu Auri! Aku sengaja memberi alasan
itu pada mereka, biar persahabatan kita tidak akan renggang karena persoalan
ini. Aku tahu kamu juga ingin mendapatkan Beasiswa ini! Tapi tolong, kali ini
mengertilah!”. Air mata sudah membanjiri kedua pelupuk mata Dinda. Seorang juri
berkata, “Mohon maaf, jadi apakah Nona Auri bersedia menggantikan Nona Dinda?”.
Dengan terbata-bata Dinda menimpali. “Tidak, bu. Silahkan cari orang lain saja.
Kami berdua tidak bisa mengikuti program ini”. “Ini Impianku” Auri akhirnya
berbicara dengan tegas dan lantang. Dinda tersentak. Dengan tangis yang tumpah
ia berkata, “Kamu pikir ini bukan impianku juga?! Aku juga ingin Auri! tapi aku
melepaskannya demi kamu”. Air mata Auri akhirnya tumpah juga, “Tolong, urus
keberangkatan saya. Saya serius untuk mengikuti program ini.” Dinda tidak
percaya akan apa yang didengarnya keluar dari bibir Auri. Dari seseorang yang
dianggapnya teman.
“Aku salah.. ternyata selama ini kamu
tidak pernah menganggapku sebagai temanmu!” Dinda pergi dari tempat itu dengan perasaan kecewa. Ia tidak berhenti
menangis sampai ia tiba di rumahnya. Ibu Dinda khawatir karena dengan
penampilan kacau sang anak langsung mengunci kamar.
Dinda
mengenang semua kisah yang pernah dilaluinya bersama Auri. Ternyata, Auri sama
sekali tidak pernah menganggapnya Teman. Meski Dinda telah mencoba memberikan
segalanya demi Auri. Semua yang dilakukannya sia-sia. Apa yang salah dengan
sikap Dinda? Apa ada yang salah dengan keinginan Dinda untuk mendapatkan teman
sejati? Ataukah memang Auri yang keterlaluan. Jahat sekali dia! Dinda tidak
bisa melupakan kejadian hari ini. Sungguh, ia sangat sakit karena perlakuan
seseorang yang telah dianggapnya sebagai teman.
Dilain
sisi, Perasaan Auri tidak lebih baik dari Dinda. Ia sedih karena ternyata
dirinya membuat Dinda akan pergi dari hidupnya. Namun, ia juga tidak bahagia
ketika ia bisa meraih kesempatan beasiswa demi kakaknya. Perasaan marah,
kecewa, sedih, dan putus asa menghampirinya .Disepanjang jalan ia memikirkan
semua yang telah terjadi. Tentang sang kakak dan kebersamaan yang ia dapatkan
dari seorang teman. Seseorang yang dengan tulus menyayanginya. Yang tidak
pernah ia dapatkan dari orang lain.
Dirumah,
kakak Auri tidak sengaja membaca sajak-sajak yang ditulis oleh Auri.
Sajak-sajak tentang hujan dan tentang luka yang selama ini ia simpan. Tentang
Auri ygang berusaha tegar seperti hujan dan seabrek kalimat tentang hujan yang
memberikan banyak hal pada diri Auri. Begitu pula, sakit yang Auri rasakan
karena sikap keras sang kakak. Sang kakak tidak habis pikir, seperti ini yang
dialami adiknya? Ia tidak sadar telah membentuk karakter dingin sang adik. Ia
bertekad untuk memperbaiki semuanya, memberikan kehangatan, kasih sayang dan tidak
lagi memaksakan kehendaknya pada sang adik.
Auri
tiba di rumah. Ia kaget ketika mendapati kakaknya berada dirumah. Auri merasa
aneh, tiba-tiba kakaknya bersikap sok baik padanya lagi. Ia sudah lelah dengan
semua yang terjadi hari ini. “Kak.. berhentilah bersikap seperti ini padaku! Bukankah
kakak sibuk mencari uang? Sudahlah, tidak usah pedulikan aku lagi”. Sang kakak
tidak menyangka Auri akan berkata kasar seperti itu. Tapi sang kakak mencoba
bersabar. “Kakak tahu kamu membutuhkan kasih sayang dan kakak melupakan itu.
Kakak berjanji akan mengubah sikap kakak”.
Mendadak, Auri merasa emosinya naik
saat kakaknya berkata “Melupakan Auri yang membutuhkan kasih sayang”. Auri
membentak sang kakak. “Aku tidak perlu itu! Bukankah kakak yang telah membuat
aku seperti ini?! Asal kakak tahu, Aku sudah mendapatkan kesempatan Beasiswa
itu.”
“Benarkah?” Kakak Auri tidak percaya.
“Ya dan karena itu aku kehilangan orang yang tulus menyanyangiku! Aku udah
kehilangan semuanya kak! Kemana kakak saat aku terpuruk? Tidak ada kak! Dinda
melepaskannya semua demi aku, dan karena kakak. Aku telah membuatnya marah
besar padaku! Kak, aku tidak pernah memiliki seorang teman. Dan saat aku
mendapatkan teman, kakak merampas kebahagiaanku!” Auri dan kakaknya Menangis.
“Maafkan kakak, Auri! Kakak tidak
pernah bermaksud membuatmu seperti ini. Kakak menyanyangimu. Maafkan kakak..”
sang kakak memeluknya. Pelukan yang selama ini dirindukannya.
Mereka
menangis dalam hening malam dan derai hujan yang membekukan suasana. Setidaknya,
malam itu telah meruntuhkan jarak yang tercipta antara Auri dan Kakaknya.
Sedikit demi sedikit, kehangatan mulai mencairkan suasana.
Saat Auri
kesekolah, ternyata Dinda tidak masuk. Ada yang hilang dari dirinya. Ia semakin
merasa bersalah pada Dinda. 3 hari berlalu, dan tidak ada kabar pula dari
Dinda. Sore hari, Auri mengikuti majelis ilmu lagi. Kebetulan sekali yang
dibahas adalah persahabatan. Sepulang dirumah, Auri merenungi kembali jalinan
persahabatannya dengan Dinda. Merenungi tiap kisah yang pernah mereka bingkai.
Tentang ketulusan yang selama ini melindungi persahabatan mereka. Auri
merindukannya. Merindukan tiap tawa Dinda. Keesokan harinya, Dinda masuk
sekolah. Auri merasa lega tapi mereka tidak saling bicara. Dinda pindah
ditempat duduk Wiwid. Tawa Dinda tidak pernah lagi Auri lihat. Ia tidak ingin
kehilangan Dinda. Tidak ingin!
Disebuah
taman mesjid. Auri duduk merenung. Berbait-bait sajak ia tuliskan. Kakak
murobbiyah mendatanginya. Auri menceritakan masalahnya dengan Dinda. Dan sang
kakak memberikan petuah-petuah yang membuat Auri merasakan apa yang dinamakan
persahabatan.
Keesokan
harinya, Auri berusaha menarik perhatian Dinda. Namun selalu saja gagal. Tapi
Auri tidak akan menyerah. Auri akan berusaha agar Dinda mau menjadi temannya
kembali. Berbagai cara ia lakukan, sampai yang konyol pun. Tapi, itu tidak
serta merta membuat Dinda memaafkannya.
Suatu hari,
Dinda mendapat kiriman dari Auri. Rangkaian lipatan burung-burung warna warni
dari kertas lipat yang berisikan sajak
tentang persahabatan Dinda dan Auri dari
awal mereka berjumpa hingga hari ini Auri merindukan persahabatannya dengan
Dinda. Lalu Auri memasukkan semua itu didalam sebuah kotak dengan pita berwarna
merah, beserta selembar foto Auri dan Dinda. Dibelakang foto itu tertulis
“Persahabatan yang indah seperti pelangi kehidupan. Auri-Dinda”. Dinda tidak
tahan lagi untuk menangis. Setiap butiran bening yang jatuh dipipinya mewakili
kerinduannya pula pada kisah-kisah indah bersama sahabatnya. Semua terungkap
lewat sajak indah Auri, tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tentang luka yang
selama ini dipendamnya. Semuanya mengalir, beban pada relung hatipun ikut
mengalir tanpa riak. Bahagia menyeruak didalam hati, akan berita bahagia hari
ini. Tentang seorang sahabat yang telah kembali.
Pagi itu, Dinda
dan Auri duduk berdua disebuah taman. Semilir angin mengibaskan ujung kerudung
keduanya. Dinda berkata, “Dulu, aku pernah bilang. Aku menyukai matahari, Jika
hujan turun.. Dan aku tidak melanjutkannya.” Auri bertanya, “Kenapa kamu tidak
melanjutkannya?”. “Karena aku baru tahu kelanjutannya hari ini.” Auri
tersenyum, “Apa itu”.
“Aku menyukai matahari, jika hujan
turun aku akan menunggu degan senang hati. Hingga hujanpun reda, kemudian
matahari kembali menyapa. Membiaskan sinarnya pada derai hujan yang tersisa dan
pelangipun tercipta. Pelangi yang indah seperti yang kau katakan”
Setiap
warna, mewakili setiap rasa.. Dan setiap rasa itu, indah bersamamu sahabat