Rangkaian-demi-rangkaian
kejadian dari catatan hidupku yang lampau berkelebat kembali. Lelah hati
menyibakkan carikan catatan-catatan itu dari buku
hidupku, merobeknya, kemudian membakaranya. Namun berang sudah, ingatan itu
bagaikan de ja vu yang selalu ada didalam setiap memori otakku. Aku sadar,
jikalau aku hanyalah seongok jiwa yang lemah yang dengan daya dan upaya akan
tetap sama hasilnya, bahwasahnya masa lalu akan tetap menjadi bagian dari diri
ini.
“Nak
Reyka, ada kiriman surat.” Kata bi Inah pembatu rumah yang aku sayangi.
“Dari
siapa bi?” Tanyaku. Namun aku mencurigai geliat tubuh bibiku ini. Pasti ada
sesuatu.
“Eehm..
Ini surat dari Mas Rehan.” Katanya berhati-hati.
Masya
Allah, Rehan? Aku tahu, sesuatu akan terjadi sebentar lagi, aku benci untuk
mengatakannya. “Rehan? Rehan kakaknya Rifkah?” kataku mencoba meminta keyakinan
dari pendengaranku.
Bi
Inah kali ini memandangku tak tega, dengan perlahan-lahan ia memberikan sebuah
kotak sepatu dari dekapannya padaku. “Surat itu ada di dalam kotak ini, dan
sebenarnya bukan dari pribadi Mas Rehan, tapi Mas Rehan mau menyampaikan amanah
dari seseorang yang seharusnya sudah nak Reyka kenal. Tolong dibacalah.” Bi
Inah kemudian bergegas pergi dari hadapaku setelah menatapku memberikan
keyakinan.
Aku
sedikit terpaku. Mencoba mempercayai apa yang tak akan kupercaya. Aku berlari
menapaki tangga menuju kamarku. Cepat-cepat ku tutup pintu kamarku. Menaruh
kotak itu di atas ranjangku, dan membukanya...
Tanganku
bergetar memegang secarik kertas, yang tulisannya sedikit pudar karena dimakan
waktu, terselip diantara catatan-catatan polos dari anak-anak SMA lalu.
Diantara coretan-coretan iseng anak-anak yang bosan mendengarkan penjelasan
gurunya. Tulisan ini, aku sangat mengenali gaya goresan tinta ini. Goresan
tintanya sangatlah lembut dan halus namun tajam ketika terdapat
tanjakan-turunan pada huruf yang harus ditarik keatas ataukah diulur kebawah.
Aku
mendesah berat, mencoba menutup mata dan membukanya perlahan, berharap yang
kulihat barusan adalah salah satu fantasi ketakutanku. Baiklah, aku bodoh!
Meski mata tak mepercayai, tetapi tangan telah memegang apa yang tak ingin ku
pegang. Kupaksakan mengangkat kelopak mata. Yah! Jelas sudah, bahkan terlalu
jelas untuk ukuran judul yang cukup besar, memenuhi dua baris pertama dari
barisan kertas itu. Bertuliskan. “Dariku adindamu tersayang,
RIFKAH.”
Luruhlah sudah semua ketidak percayaanku. Oh
Tuhan.. Inikah catatan dari masa lalu yang akan menjelaskan kepadaku mengapa
sang separuh hati pergi? Mengapa sang sahabat dunia dan yang ku yakini hingga
di akhirat pergi tanpa ada kabar? Dia sahabatku sedari kecil namun setelah
dewasa mengkhianatiku?
Benci diri ini untuk membaca namamu. Benci
hati ini untuk mengetahui kabarmu. Namun sekarang, apalah daya dan guna, jika
seandainya waktu mencoba menjelaskan kisah yang hilang, kisah yang tak ku
ketahui akhirnya.
Aku teringat akan senyummu, ketika pertama
kali sang waktu mengenalkanmu kepadaku, berjabat tangan, dan engkau tak segan
menjahiliku terlebih dahulu. Aku teringat ketika kita harus menyelesaikan tugas
bersama-sama, engkau yang selalu menyemangatiku dan menasehatiku untuk tidak
menjadi anak yang cengeng. “Anak cewek tuh jangan mau jadi lemah!” katamu
dengan polos.
Aku
teringat ketika engkau pertama kalinya menangis di hadapanku karena teman-teman
yang lain mengejekmu menyukai seseorang, padahal awalnya engkaulah yang selalu
menawarkan pundakmu untuk menopang kesedihan diriku. “hiiks.. Awas lo semua,
h.. hiiks.. Aku bakalan gigitin, hh.. hiks.. tangan kalian kalau kalian masih,
hiiks.. ngejek aku sama Doni si ingus!” Acammu dengan sesegukkan.
Aku teringat ketika kita harus bersama-sama
menghadapi kemunafikkan dunia disaat kita masih mencari jati diri. Hingga saat
ini aku masih mengingat disaat dirimu, yang tak ku ketahui alasannya, pergi
meninggalkanku disaat engkau yang selalu kubutuhkan. “Udah! Kamu nggak usah
ngikutin aku lagi! Nggak perlu lagi kamu datang sama aku cuman buat nangis! Aku
nggak butuh sahabat cengeng seperti kamu! Pergi sana!” Bentakmu kepadaku. “Tapi
Kah..” tangisku meledak. “Pergi nggak!? Aku sudah bilang, aku nggak butuh
sahabat macam kamu, yang kerjaannya cuman nangis mulu! Pergi...”
Sakit rasanya harus mengingat lagi. Sakit
rasanya harus melihat masa lalu lagi. Aku takut. Aku benci. Tetapi disatu sisi
aku merindukanmu sahabatku.
Tatapanku beralih lagi dengan waktu kini.
Suratmu, yang mengantarkanku pada De Ja
Vu mimpi burukku. Mengingatmu kembali. Ku kerlingkan mata membaca tiap kata
dan mencerna tiap bait surat darimu. Oh, tidak. Bayangan itu berkelebat
kembali. Miris.
Kali ini nafasku mulai bergetar, pandanganku
membaca kalang-kabut. Oh, tidak. Inikah kenyataannya? Oh Tuhan, aku benci
terlambat mengetahui kebenaran. Seketika itu, genangan air memenuhi kelopak
mataku.
...
Ku usap
wajahku ketika aku telah menyelesaikan munajatku. Do’a yang kukirimkan pada-Nya
teruntuk Rifkah. Aku sudah menerima, aku sudah mengikhlaskan Tuhan
mengambilnya. Biarkan bumi memeluknya dalam dekapan erat, melelapkannya dari
sakitnya. Mungkin Tuhan benar, mengambil Rifkah dari hidupku yang membuatku
mejadi Reyka yang tegar, bukan Reyka yang dulu selalu bersama Rifkah. Aku
tersenyum, dan menoleh kearah pundak kananku, tante Ranti, bunda tiri dari
Rifkah. Beliau memeluk pundakku, hangat. Tante Ranti merangkulku dan mengajakku
untuk pulang. Disana, disamping mobil Honda Jazz merah, mas Rehan, kakak Rifkah
telah menunggu kami..
Selamat
tinggal sahabatku, semoga engkau tetap menjagaku dari sana, di sisi-Nya.
Dariku; Adindamu tersayang, RIFKAH.
Mm.. Hai Rey halo? Apakabar
Rey? Semoga kamu selalu dalam perlindungan-Nya, dan semoga kamu bisa melupakan
si pengkhianat ini :) Ya, mungkin itulah panggilan yang paling tepat untuk kamu
sematkan padaku. PENGKHIANAT!
Rey.. Kau pasti tahu, seumur hidupku,
aku tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ibu yang menyebabkanku
menjadi sosok yang keras dan tegar. Aku tahu, aku tahu sepenuhnya kamu berbeda
denganku. Aku sungguh iri padamu, yang selalu mendapat kasih sayang dari
seorang ibu, hingga aku bisa mendapatkan belaian dari bunda baruku, tante
Ranti. Kamu dan tante Ranti adalah kado terindah yang pernah Tuhan kirimkan
untukku, dan aku kini beruntung mendapatkannya, dan hanya aku yang bisa.
Rey, maafkan aku karna pergi dari
hidupmu? Rey, aku banyak berpikir akhir-akhir ini, tentang pertanyaan ini,
banyak merenung. Akhirnya aku tahu, Tuhan amatlah baik memberikanku kalian
untuk disisa hidupku.
Ya, aku pikir, itulah jawabannya Rey.
Aku tidak tahu kapan, tapi ingatkah kamu ketika aku biasa merasakan sakit
perut, namun dokter mendiagnosis bahwa itu penyakit maag semata? Namun bunda
memutuskan untuk meng-USG bagian perutku, dan inilah takdirku, takdir yang
telah dituliskan Tuhan untukku lagi, aku memelihara kanker stadium 3 di lambungku.
Aku tidak kaget dengan ini, karna aku
tahu dunia kedokteran sudah canggih, yang membuatku shock berat ketika dokter
memvonisku hanya bisa bertahan dalam 3 bulan. Aku mulai stres, keadaanku kacau,
aku tidak bisa mengendalikan emosiku, selalu bunda aku bentak. Namun aku mulai
sadar, aku akan meninggalkanmu, bunda, ayah, dan mas Rehan. Maka aku
memutuskan, untuk mencampakkanmu sebelum kamu melihatku dalam keadaan tragis.
Rey, besok aku akan menjalani operasi,
dan ketika kamu menerima suratku berarti aku sudah tidak ada lagi, itu pesanku
untuk mas Rehan. Semoga surat ini bisa menjelaskan semuanya walau singkat. Maaf
yah kalau pendek, aku tidak kuat untuk menulis banyak. Hehehe..
Salam hangat
untukmu, Rifkah
#Sebuah Cerpen dari Al Putri Yana Wulandari:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar