Jumat, 09 November 2012

“Catatan DE JA VU Dari Lembaran Hidupku Yang Lampau”


Rangkaian-demi-rangkaian kejadian dari catatan hidupku yang lampau berkelebat kembali. Lelah hati menyibakkan carikan catatan-catatan itu dari buku hidupku, merobeknya, kemudian membakaranya. Namun berang sudah, ingatan itu bagaikan de ja vu yang selalu ada didalam setiap memori otakku. Aku sadar, jikalau aku hanyalah seongok jiwa yang lemah yang dengan daya dan upaya akan tetap sama hasilnya, bahwasahnya masa lalu akan tetap menjadi bagian dari diri ini.
“Nak Reyka, ada kiriman surat.” Kata bi Inah pembatu rumah yang aku sayangi.
“Dari siapa bi?” Tanyaku. Namun aku mencurigai geliat tubuh bibiku ini. Pasti ada sesuatu.
“Eehm.. Ini surat dari Mas Rehan.” Katanya berhati-hati.
Masya Allah, Rehan? Aku tahu, sesuatu akan terjadi sebentar lagi, aku benci untuk mengatakannya. “Rehan? Rehan kakaknya Rifkah?” kataku mencoba meminta keyakinan dari pendengaranku.
Bi Inah kali ini memandangku tak tega, dengan perlahan-lahan ia memberikan sebuah kotak sepatu dari dekapannya padaku. “Surat itu ada di dalam kotak ini, dan sebenarnya bukan dari pribadi Mas Rehan, tapi Mas Rehan mau menyampaikan amanah dari seseorang yang seharusnya sudah nak Reyka kenal. Tolong dibacalah.” Bi Inah kemudian bergegas pergi dari hadapaku setelah menatapku memberikan keyakinan.
Aku sedikit terpaku. Mencoba mempercayai apa yang tak akan kupercaya. Aku berlari menapaki tangga menuju kamarku. Cepat-cepat ku tutup pintu kamarku. Menaruh kotak itu di atas ranjangku, dan membukanya...
Tanganku bergetar memegang secarik kertas, yang tulisannya sedikit pudar karena dimakan waktu, terselip diantara catatan-catatan polos dari anak-anak SMA lalu. Diantara coretan-coretan iseng anak-anak yang bosan mendengarkan penjelasan gurunya. Tulisan ini, aku sangat mengenali gaya goresan tinta ini. Goresan tintanya sangatlah lembut dan halus namun tajam ketika terdapat tanjakan-turunan pada huruf yang harus ditarik keatas ataukah diulur kebawah.
Aku mendesah berat, mencoba menutup mata dan membukanya perlahan, berharap yang kulihat barusan adalah salah satu fantasi ketakutanku. Baiklah, aku bodoh! Meski mata tak mepercayai, tetapi tangan telah memegang apa yang tak ingin ku pegang. Kupaksakan mengangkat kelopak mata. Yah! Jelas sudah, bahkan terlalu jelas untuk ukuran judul yang cukup besar, memenuhi dua baris pertama dari barisan kertas itu. Bertuliskan. “Dariku adindamu tersayang, RIFKAH.”
Luruhlah sudah semua ketidak percayaanku. Oh Tuhan.. Inikah catatan dari masa lalu yang akan menjelaskan kepadaku mengapa sang separuh hati pergi? Mengapa sang sahabat dunia dan yang ku yakini hingga di akhirat pergi tanpa ada kabar? Dia sahabatku sedari kecil namun setelah dewasa mengkhianatiku?
Benci diri ini untuk membaca namamu. Benci hati ini untuk mengetahui kabarmu. Namun sekarang, apalah daya dan guna, jika seandainya waktu mencoba menjelaskan kisah yang hilang, kisah yang tak ku ketahui akhirnya.
Aku teringat akan senyummu, ketika pertama kali sang waktu mengenalkanmu kepadaku, berjabat tangan, dan engkau tak segan menjahiliku terlebih dahulu. Aku teringat ketika kita harus menyelesaikan tugas bersama-sama, engkau yang selalu menyemangatiku dan menasehatiku untuk tidak menjadi anak yang cengeng. “Anak cewek tuh jangan mau jadi lemah!” katamu dengan polos.
 Aku teringat ketika engkau pertama kalinya menangis di hadapanku karena teman-teman yang lain mengejekmu menyukai seseorang, padahal awalnya engkaulah yang selalu menawarkan pundakmu untuk menopang kesedihan diriku. “hiiks.. Awas lo semua, h.. hiiks.. Aku bakalan gigitin, hh.. hiks.. tangan kalian kalau kalian masih, hiiks.. ngejek aku sama Doni si ingus!” Acammu dengan sesegukkan.
Aku teringat ketika kita harus bersama-sama menghadapi kemunafikkan dunia disaat kita masih mencari jati diri. Hingga saat ini aku masih mengingat disaat dirimu, yang tak ku ketahui alasannya, pergi meninggalkanku disaat engkau yang selalu kubutuhkan. “Udah! Kamu nggak usah ngikutin aku lagi! Nggak perlu lagi kamu datang sama aku cuman buat nangis! Aku nggak butuh sahabat cengeng seperti kamu! Pergi sana!” Bentakmu kepadaku. “Tapi Kah..” tangisku meledak. “Pergi nggak!? Aku sudah bilang, aku nggak butuh sahabat macam kamu, yang kerjaannya cuman nangis mulu! Pergi...”
Sakit rasanya harus mengingat lagi. Sakit rasanya harus melihat masa lalu lagi. Aku takut. Aku benci. Tetapi disatu sisi aku merindukanmu sahabatku.
Tatapanku beralih lagi dengan waktu kini. Suratmu, yang mengantarkanku pada De Ja Vu mimpi burukku. Mengingatmu kembali. Ku kerlingkan mata membaca tiap kata dan mencerna tiap bait surat darimu. Oh, tidak. Bayangan itu berkelebat kembali. Miris.
Kali ini nafasku mulai bergetar, pandanganku membaca kalang-kabut. Oh, tidak. Inikah kenyataannya? Oh Tuhan, aku benci terlambat mengetahui kebenaran. Seketika itu, genangan air memenuhi kelopak mataku.
...
Ku usap wajahku ketika aku telah menyelesaikan munajatku. Do’a yang kukirimkan pada-Nya teruntuk Rifkah. Aku sudah menerima, aku sudah mengikhlaskan Tuhan mengambilnya. Biarkan bumi memeluknya dalam dekapan erat, melelapkannya dari sakitnya. Mungkin Tuhan benar, mengambil Rifkah dari hidupku yang membuatku mejadi Reyka yang tegar, bukan Reyka yang dulu selalu bersama Rifkah. Aku tersenyum, dan menoleh kearah pundak kananku, tante Ranti, bunda tiri dari Rifkah. Beliau memeluk pundakku, hangat. Tante Ranti merangkulku dan mengajakku untuk pulang. Disana, disamping mobil Honda Jazz merah, mas Rehan, kakak Rifkah telah menunggu kami..
Selamat tinggal sahabatku, semoga engkau tetap menjagaku dari sana, di sisi-Nya.

Love 17 1280X1024 Love Friendship Wallpaper.jpgDariku; Adindamu tersayang, RIFKAH.
          Mm.. Hai Rey halo? Apakabar Rey? Semoga kamu selalu dalam perlindungan-Nya, dan semoga kamu bisa melupakan si pengkhianat ini :) Ya, mungkin itulah panggilan yang paling tepat untuk kamu sematkan padaku. PENGKHIANAT!
          Rey.. Kau pasti tahu, seumur hidupku, aku tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ibu yang menyebabkanku menjadi sosok yang keras dan tegar. Aku tahu, aku tahu sepenuhnya kamu berbeda denganku. Aku sungguh iri padamu, yang selalu mendapat kasih sayang dari seorang ibu, hingga aku bisa mendapatkan belaian dari bunda baruku, tante Ranti. Kamu dan tante Ranti adalah kado terindah yang pernah Tuhan kirimkan untukku, dan aku kini beruntung mendapatkannya, dan hanya aku yang bisa.
          Rey, maafkan aku karna pergi dari hidupmu? Rey, aku banyak berpikir akhir-akhir ini, tentang pertanyaan ini, banyak merenung. Akhirnya aku tahu, Tuhan amatlah baik memberikanku kalian untuk disisa hidupku.
          Ya, aku pikir, itulah jawabannya Rey. Aku tidak tahu kapan, tapi ingatkah kamu ketika aku biasa merasakan sakit perut, namun dokter mendiagnosis bahwa itu penyakit maag semata? Namun bunda memutuskan untuk meng-USG bagian perutku, dan inilah takdirku, takdir yang telah dituliskan Tuhan untukku lagi, aku memelihara kanker stadium 3 di lambungku.
          Aku tidak kaget dengan ini, karna aku tahu dunia kedokteran sudah canggih, yang membuatku shock berat ketika dokter memvonisku hanya bisa bertahan dalam 3 bulan. Aku mulai stres, keadaanku kacau, aku tidak bisa mengendalikan emosiku, selalu bunda aku bentak. Namun aku mulai sadar, aku akan meninggalkanmu, bunda, ayah, dan mas Rehan. Maka aku memutuskan, untuk mencampakkanmu sebelum kamu melihatku dalam keadaan tragis.
          Rey, besok aku akan menjalani operasi, dan ketika kamu menerima suratku berarti aku sudah tidak ada lagi, itu pesanku untuk mas Rehan. Semoga surat ini bisa menjelaskan semuanya walau singkat. Maaf yah kalau pendek, aku tidak kuat untuk menulis banyak. Hehehe..
Salam hangat untukmu, Rifkah

#Sebuah Cerpen dari Al Putri Yana Wulandari:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar